Dua puluh dua
Angin waktu menghembusku ke arah dua puluh
dua
Di pagi yang sama untuk yang ke dua puluh dua
Hitam dan putih yang mencorengku
Berbaur jadi abu – abu
Sewarna awan kelabu
Membikin aku menjadi aku
Di hari yang sama untuk yang ke dua puluh dua
Tercetus makna menjadi ada
Berpadu pusaran sukaria – dukacita
Kukecap nikmat menjelma manusia
Lewat paparan puisi – puisi usang
Kusisir waktuku yang hilang
Terbakar api kunang – kunang
Memanjat kupahat tebing penghalang
Aku terlahir sebagai pembangkang
Sayatan pedang tak buatku tumbang
Perihal manusia bukan penghalang
Darah dan nanah tercecer di belakang
Melesat terbang diatas padang ilalang
Dan aku tak ingin pulang
Dua puluh dua
Hidup berwajah segala rupa
Menapaki ruang – ruang hampa
Dua puluh dua
Jiwaku bebas merdeka
Menyusuri semesta
Menggema angkasa raya
Di pagi yang sama untuk kali ke dua puluh dua
Aku kembali dengan jiwa dewasa
Meretas jalan menuju binasa
Sambil angin waktu merenggutku
Menuju
Dua - puluh - tiga
Jakarta, 16 Mei 2007
"Kala langit memerah dan hatimu menghitam, maka berhentilah sejenak untuk sebentuk kepahitan yang terkadang menjadi candu."
Tuesday, September 20, 2011
DI CIKINI
Jakarta Pusat tetap temaram
Memanggil kenangan yang muram
Merunut masa serba kelam
Lembar – lembar buram yang tercoreng suram
Deru kereta melintas Stasiun Cikini
Membuka dan menutup hari
Bercerita tentang mereka yang pergi
Mengabarkan dimulainya ziarah pagi
Kupikir nikmat dunia ada disana
Kala gairah membuncah di dada
Dan mereka bersabda atas nama cinta
Pada iblis yang bersarang di Megaria
Kembang goyang terbuang
Nafsu jahanam yang terlarang
Janji semu kaku membayang
Luka jiwa perih meradang
Cerita CENTRALISMO* yang usang
Menggema ditengah beton – beton bertulang
Siulan hotel murah berneon terang
Menggelar kenikmatan delapan jam kurang
Banci-banci menor Taman Lawang
Di Patung Proklamasi
bocah – bocah telanjang menggelandang
Si tua Menteng Prada masih menjulang
Taman Suropati tak pernah lapang
Dibawah tulisan “STASIUN CIKINI”
Sendiri aku menerawang
Menjejak aspal menggapai ruang
Asap menyumpal kerongkongan gersang
Dalam sesak kembali kukenang
Di Cikini, disini
Nyawa anaknya terbang melayang
McDonalds Cikini, 14 Mei 2007
Revised : 31 Juli 2008
*judul album perdana SORE Band yang bercerita tentang
Jakarta Pusat
Memanggil kenangan yang muram
Merunut masa serba kelam
Lembar – lembar buram yang tercoreng suram
Deru kereta melintas Stasiun Cikini
Membuka dan menutup hari
Bercerita tentang mereka yang pergi
Mengabarkan dimulainya ziarah pagi
Kupikir nikmat dunia ada disana
Kala gairah membuncah di dada
Dan mereka bersabda atas nama cinta
Pada iblis yang bersarang di Megaria
Kembang goyang terbuang
Nafsu jahanam yang terlarang
Janji semu kaku membayang
Luka jiwa perih meradang
Cerita CENTRALISMO* yang usang
Menggema ditengah beton – beton bertulang
Siulan hotel murah berneon terang
Menggelar kenikmatan delapan jam kurang
Banci-banci menor Taman Lawang
Di Patung Proklamasi
bocah – bocah telanjang menggelandang
Si tua Menteng Prada masih menjulang
Taman Suropati tak pernah lapang
Dibawah tulisan “STASIUN CIKINI”
Sendiri aku menerawang
Menjejak aspal menggapai ruang
Asap menyumpal kerongkongan gersang
Dalam sesak kembali kukenang
Di Cikini, disini
Nyawa anaknya terbang melayang
McDonalds Cikini, 14 Mei 2007
Revised : 31 Juli 2008
*judul album perdana SORE Band yang bercerita tentang
Jakarta Pusat
DUNIA TANPA SUARA
Satu setengah jam menuju Jakarta
Setengah tertidur dalam kereta
Melalu petak-petak sawah rata
Coklat, gersang tanpa rumah bata
Sepasang tunarungu bercanda
Di hadapanku mengurai tawa
Sesekali salah satunya menyeka airmata
Mencari makna dalam dunia tanpa suara
Sepi,
Tak ada yang mau mengerti
Isyarat tangan penuh arti
Yang disampaikan dalam bahasa sunyi
Dalam pandangan yang beradu
Mereka berseru
Ke dalam hati aku
‘TUHAN YANG BUAT KAMI BISU!’
Dan aku yang biasa lantang
Diam terpaku patah arang
Karena Tuhan kembali menang
Meski ku meradang menantang perang
K A Cirebon Ekspress, 10 Mei 2007
Setengah tertidur dalam kereta
Melalu petak-petak sawah rata
Coklat, gersang tanpa rumah bata
Sepasang tunarungu bercanda
Di hadapanku mengurai tawa
Sesekali salah satunya menyeka airmata
Mencari makna dalam dunia tanpa suara
Sepi,
Tak ada yang mau mengerti
Isyarat tangan penuh arti
Yang disampaikan dalam bahasa sunyi
Dalam pandangan yang beradu
Mereka berseru
Ke dalam hati aku
‘TUHAN YANG BUAT KAMI BISU!’
Dan aku yang biasa lantang
Diam terpaku patah arang
Karena Tuhan kembali menang
Meski ku meradang menantang perang
K A Cirebon Ekspress, 10 Mei 2007
DEADLINE
Mati lampu
Dalam gelap terpaku
Di sudut kasur
Mendengar ketukan rintik hujan di jendela
Dan badai pikiran yang menggila
Menanti eksekusi dalam tiga hari
Mengukur kubur yang kugali sendiri
Merupa mimpi tentang epilogue yang kini
kurangkaki dan kutangisi
Kelapa Dua, 25 April 2007
Dalam gelap terpaku
Di sudut kasur
Mendengar ketukan rintik hujan di jendela
Dan badai pikiran yang menggila
Menanti eksekusi dalam tiga hari
Mengukur kubur yang kugali sendiri
Merupa mimpi tentang epilogue yang kini
kurangkaki dan kutangisi
Kelapa Dua, 25 April 2007
IN SEARCH OF THE ALMIGHTY
Aku mencari Tuhan
Di dalam hati yang tertutup awan
Tengah malam mencekam
Dan semua diam
Di dalam hati yang tertutup awan
Tengah malam mencekam
Dan semua diam
Hidup yang bergerak, berderak
Dalam satu kebenaran mutlak
Akankah aku menemu
surga di dalam kitab berdebu
Dalam satu kebenaran mutlak
Akankah aku menemu
surga di dalam kitab berdebu
Dengan pikiran mabuk
dan nurani kian membusuk
Dalam sebuah bangsa terkutuk
Aku semakin terpuruk
dan nurani kian membusuk
Dalam sebuah bangsa terkutuk
Aku semakin terpuruk
KEMBALI KE LAUT LEPAS
(untuk Paijo)
Suatu hari ketika biru itu memudar
Ksatria berkuda yang menghilang
Malaikat tersalib terbang melayang
Dan aku masih meradang
Sosok bagai Piet berjelaga datang
Tak menyapa bagai bebek pulang kandang
Ah, aku gelisah menerawang
Cinta dan nafsu kembali berperang
Selalu kucoba dalam diam
Dengan mulut terkatup dan gejolak teredam
Namun dibalik sosok setengah menghitam
Kembali ku menemu rindu dendam
Yang kucari di gelap riuh rendah malam
Yang kutulis dengan seribu kalam
Di tengah laut lagi timbul tenggelam
Kembali ku diam menunggu karam
Paijo! Dalam hati kau kupendam!
Jakarta, 5 Maret 2007
Suatu hari ketika biru itu memudar
Ksatria berkuda yang menghilang
Malaikat tersalib terbang melayang
Dan aku masih meradang
Sosok bagai Piet berjelaga datang
Tak menyapa bagai bebek pulang kandang
Ah, aku gelisah menerawang
Cinta dan nafsu kembali berperang
Selalu kucoba dalam diam
Dengan mulut terkatup dan gejolak teredam
Namun dibalik sosok setengah menghitam
Kembali ku menemu rindu dendam
Yang kucari di gelap riuh rendah malam
Yang kutulis dengan seribu kalam
Di tengah laut lagi timbul tenggelam
Kembali ku diam menunggu karam
Paijo! Dalam hati kau kupendam!
Jakarta, 5 Maret 2007
Saturday, September 17, 2011
Setahun Sudah
Setahun sudah terbengkalai blog saya ;)
masih terlalu banyak yang perlu diunggah, apa daya uang mengalihkan segalanya.
setelah ini akan masuk banyak entri, karena waktu mulai berpihak pada saya.
Sungguh saya ini hanyalah penulis kambuhan ;p
Salam Jabat Erat
-ditha-
masih terlalu banyak yang perlu diunggah, apa daya uang mengalihkan segalanya.
setelah ini akan masuk banyak entri, karena waktu mulai berpihak pada saya.
Sungguh saya ini hanyalah penulis kambuhan ;p
Salam Jabat Erat
-ditha-
Subscribe to:
Posts (Atom)