Thursday, September 2, 2010

SEBELUM TAHUN BERGANTI



Satu bulan lewat sudah
Sejak pertama dan terakhir kali
Kita ngobrol di kedai kopi

Sejak itu ku selalu berkata
Dan kau terselip diantaranya
Khawatir bunga api yang kau percik dulu
Pelan – pelan mambakarku jadi abu

Kala riak angan bergejolak
Menghempas pikiran yang carut – marut
Sementara kau meraga sukma
Maka tak kucari lagi kau lewat bahasa

Satu bulan lewat banyak
Aku menggigil jua mendidih
Gelas – gelas kaki bersaksi
Betapa aku selama ini cuma girang sendiri


Entah apa Tuhan kasihan
Sehari sebelum tahun berganti
kita dipertemukan
Di tempat biasa kuhirup aroma malam
Ditengah kerumunan manusia, iblis,
malaikat maut, dewi cinta dan bayangan

Asap bergumpal tak jua menutupi
Cerlang gigimu yang kutangkap
Saat kau nyengir di kejauhan
dan aku kian kepanasan

Pesta pora tiba – tiba usai
Menyisa kesunyian di tengah lantai dansa
    yang bersuka ria
Hampa, kosong, menyergap hati
Dan bibir gagal mengucap sajak
 


Jakarta, 30 Desember 2006

SELAMAT HARI NATAL !!


Aku terbangun di pagi buta
Ketika hari juru selamat belum tiba
Andai ku tahu kabarmu
Karena Juru Selamat akan menjelma

Tangan-Nya akan pilih siapa?
Kau yang menghias cemara
Ataukah aku yang berkurban unta?

Ini dunia punya siapa?
Beda Tuhan beda pula surga
Kau kukejar seribu langkah
Seribu langkah ku tergesa
             Ke neraka-ku, ke surga-mu

Aku berpesta di pagi buta
Ketika hari Juru Selamat tiba
Andai ku tahu kau di mana
Karena Juru Selamat lahir ke dunia

Juru selamat siapa?
Juru selamat yang mana?


Jakarta, 25 Desember 2006

KEMBALI MEMBIRU



Siapakah Engkau
wahai seseorang yang muncul
dari balik kerumunan orang-orang beriman?

Saat kau datang tanpa aura yang membara
Tanpa kutahu mengapa engkau bersabda

Dengan senyum yang samar-samar dapat kuingat
Dan tutur kata yang meluncur hangat

Seakan engkau datang menjawab sayembara
Yang kubuat dengan rahasia


Jakarta, 3 November 2006

MENEMU CAHAYA



Apakah itu nyala kecil
Yang menerangi jalanku?
Kala ku merangkak
Buta arah dalam gelap

Luka ini masih berdarah
Sewarna darah dalam ketuban
Yang dulu pecah buru-buru
Mengikuti mimpi takhyul-mu

Cahaya itu nyala siapa?
Dian obor di kejauhan
Atau lilin kecil yang kuhampiri
Tanpa rencana

Ah, sengaja tak sengaja
Harap bukan harap
Cahaya itu pasti adanya
Jauh atau dekat

Tapi aku melihatnya!




Depok, 12 Januari 2006
Revised : Jakarta, 31 Juli 2008

KEMBALINYA SANG KSATRYA

(untuk Satria Gunadarma)

Dalam hujan sore ini
Akhirnya otakku pecah jadi dua
Tapi tetap cinta melulu
Manusia memang payah

Dulu waktu hujan turun
Bayangmu ikut turun ke bumi
Menyeruak dari bulir-bulir hujan
Merupa rasa sesak di dada

Manusia memang payah
Melihat hujan serupa air mata
Dalam kungkungan
Kesendirian
Deras hujan menjadi inspirasi
Menjelma seribu makna


Tapi itu dulu
Waktu hujan serupa air mata
Kini otakku terbelah dua
Gegap gempita
Pada akhirnya
Penuh wajah baru ksatria berkuda


Depok, 12 Januari 2006

MUDIK

 

Jauh – jauh hari sekali
Aku ingin jauh – jauh begini
Jauh – jauh pergi sendiri
Jauh menghindar mendem birahi

Tapi tak usah lama – lama
Aku rindu ingin bersua
Lewat  kasih sayang atau apa
Paling sial sebagai pejantan dan betina

Lusa pagi bedug pasti bertalu – talu
Memberangus kotoran yang lalu
Kalau begitu aku akan jadi pilu
Hati kebas dan bibir kelu

Jadi ini salah siapa?
Yang disana terluka
Yang mencinta bermata buta
Apakah semua bisa terlupa
Seiring MAAF yang terbata
Tersamar dentuman bedug di alun – alun kota


Cirebon, 12 November 2004

PADA AKHIRNYA



Kaulah yang paling kubenci
Saat gelembung cacimaki merekah di bibirmu
Lalu mendarat sempurna pada tubuhku yang cacat

Tak dapatkah kau tutup mata sedikit
Dari keburukan bayangan iblis wanita
Yang samar- samar menari dari balik wujudku

Tak mungkinkah kau redam gerammu
Kala sang iblis meringis di tengah kebusukan
Yang kian bermekaran pada hari – hari kita

Kaulah yang paling terkutuk
Saat kau dekap tubuhku erat
Lau kau hempas cepat – cepat
Lagi aku kian merapat

Kaulah yang paling terlaknat
Saat merenda kebahagiaan hidupmu
Dan beranak diatas kematianku yang pucat



Danau UI Depok, 3 Oktober 2003

AKU, KAU, LALU MUNAFIK


Akui saja
Bahwa cerita bohong yang mengikat kita
Adalah kemunafikan yang berbalas

Atau karena
Yang satu sok lugu, malu – malu asu
Tapi bermental pelacur sejati

Dan yang satu lagi
Orang suci, anak Pak Haji
Tapi bengong melulu reproduksi

Kenapa tidak
Bukankah kita dua sisi berbeda
Tapi dari satu keping yang sama
Bicara cinta, cinta, bercinta pada awalnya
Berebut status menjelang akhir
Karena yang satu takut hilang
Yang satu lagi takut terikat


Tapi setan mana cari peduli
Saat kita merintih lirih keenakan
Kala bergumul di Sabtu dini hari
Waktu awan pagi belum kelihatan



Jakarta, 18 September 2003
Revised : 31 Juli 2008

CERITA DALAM AIR PUTIH


Sejuk
Aku terhempas ke tengah riak masa silam
Yang berbuih panas di tebing ingatan
Saat kuteguk air putih dingin
Dalam gelas plastik bening berembun

Air putih yang selalu sama
Untuk mengalirkan sumbat kepedihan
Yang mencekat kuat kerongkongan
Hingga terdorong menuju dada yang sesak
Tersedak

Terkadang dingin itu tajam menusuk
Sampai gerahamku ngilu-ngilu
Saat kukulum derainya dalam mulutku
Sambil membendung tangis, menahan sakit
Nyeri

Tetap sejuk
Waktu kuhisap air putih dingin lewat sedotan
Dan susah payah kutelan bersamaan kenyataan
Bahwa hal tentangku hanyalah kekhilafan
Dan air mata asin ngotot mengalir, ikut tertelan

Kuteguk sisa air pitih dingin dalam gelas
Bercampur nada telepon putus
Di suatu siang dalam bis kampus


Bis Kuning UI Depok, 17 September 2003

EPILOGUE



Entah kapan ku kan selesai
Menulisi bait remang – remang puisi
Yang bernada putus asa
Dan berisi melulu tentang kematian

Suatu saat ku ingin berhenti
Menangis cengeng lewat puisi
Seperti meratap kepergian perawan
Yang hilang terbuang entah dimana

Mungkin besok akan kuakhiri
Rangkaian kata sama yang terus berulang
Senandung merdu ketidakpercayaan
Bersemu aroma tanda tanya

Huruf – huruf yang kutoreh selama ini
Kian berkait memerikan warna hitam
Ini hanya bagian tak berarti sastra jalanan
Tapi inilah puisiku, inilah cerminku



Jakarta, medio 2003

KISAH TENTANG CIRI 2



Mungkin memang begitulah adanya
Perempuan yang dipanggil Ciri itu
Memang bukan tipe objek lukisan
Atau sumber inspirasi puisi cinta

Dan memang begitulah adanya
Ia bukan figur indah yang patut dipuja
Atau sensasi yang menghantui ingatan

Hanya seorang perempuan biasa
Yang banyak minum kopi dan bicara bahasa aneh


Jakarta, Juli 2003

KISAH TENTANG CIRI



Perempuan itu tak cantik
Tapi tak juga nuruk rupa
Jemari-nya tak lentik
Dan mulutnya berlumur dosa

Suatu hari ia berlari keluar kamar
Menjerit serak bersumpah serapah
Kepingan cermin pecah luluh lantak
“Dia bilang aku jelek!”

Pernah juga ia terjun ke sungai
Hingga hanyut terbawa arus
Buku puisinya terserak robek – robek
“Dia bilang aku bodoh!”

Pada akhir hari yang melelahkan
Ketika ia menghapus airmatanya
Ia tersenyum penuh rahasia
“Dia memanggilku Ciri…”



Jakarta, Juli 2003

FIN



Hari ini langit masih cerah
Dan harapanku habis sudah

Kemarin aku masih pikir kau pikirkan ku
Dan dengan senang hati kutunggu pagi
Harap kabar burung datang hampiri

Hatiku berseling legam – merah darah
Dan harapanku habis sudah

Hari ini kau garis jelas hidupmu penuh
Tak ada lubang sisa yang cukup untuk kususup
Maka kubuang jauh mimpi semu itu





Jakarta, 23 Juli 2003

NOKTURNO



(untuk Abdullah Nurhasan)

Ada bunga mawar biru muda
Terbikin dari sabun mandi
Sekuntum berdiam di pojok jendela
Diterpa angin berdebu, dihujam senyum mentari

Harganya tak lebih mahal dari
Dua papan tempe mentah
Baunya tak lebih wangi dari
Kamper pengharum lemari

Tapi kutaruh diriku di setiap kelopaknya
Ia menunggumu yang entah kemana
Dan tetap merekah walau hujan basahi jendela
Ia menanti, Ia meleleh, Ia tak lelah


Jakarta, 22 Juli 2003

JALANG



Apakah manusia yang bertindak
Ikuti nurani yang tak berdusta
Dan mengalir dalam hembusan hawa nafsu
adalah perempuan jalang?

Apakah berjalan tak sadarkan diri
Menuju ke arah hati kecil mengajak
Lalu terseret jauh hingga hilang jalan pulang
adalah perempuan jalang?

Apakah aku yang bersolek
Dan menari telanjang di depan lelaki
Karena jiwaku bebas bercinta dan lelaki itu dirimu
    adalah perempuan jalang?

MAKA AKULAH PEREMPUAN JALANG!
Yang senang diperdaya lelaki dan bertingkah seenak hati
Yang menoreh dosa pada tubuh malaikat suci
Yang menangis tercabik tutur kata tak bermakna


Jakarta, 29 Juni 2003

MATI



(surat untuk Tuhan)


Jika tiba waktunya nanti
Kuingin mati
mati,     mati,    mati
melepas jiwa dari raga
terbang bebas ke angkasa
perjalanan bertemu AKHIR
tak kan pernah ku kembali
Lalu pulang ke rumah ke Rabb-ku
Sang pencipta, Maha penyayang
Tuhan, aku datang
Membawa berjuta kepedihan
Berpeluh dunia dan kenistaan
Ya Tuhan, aku begitu cape
Tersasar diantara puing – puing pasar
Aku mohon – sembuhkanlah
Rasa sengsara tercabik dosa dalam amarah
Dalam bingung, hancur asa termakan usia
Limabelas tahun penuh percuma
    s  i  a  –  s  i  a

Tuhan – aku, hambamu, tolong  pulihkan
Dengan sejuknya hawa surga
Dengan harum hamba - hamba beriman
        Peluklah      aku,      Tuhan
Dengan api Maha Cinta dari Sang Maha Suci
Bakar aku agar kembali dalam damai-Mu
Jika aku memohon dengan khidmat
Akankah Kau beri aku damai?
Bukankah Kau tak pernah memilih?
Padahal ada orang – orang terpilih
Padahal aku terlalu pembangkang, terlalu tuli, terlalu pendosa, terlalu durhaka
    Tapi aku buah karya agung - Mu
Jika tiba waktunya nanti
Kutinggalkan hidupku ini
untuk mati



Jakarta, 2001