Friday, May 9, 2014

Whatever Happens I Love You

 
 
(My open letter to Steven Patrick Morrissey) 

Dear Moz, 

It's been 2 years, Father, I miss you and I believe all of my friends miss you too.. 
 
You sincerely said, in your life you've never experienced such crowd like Jakarta's.. In my life, I've never either. That was the night I saw more grown-up men crying like a baby.
How will I forget the scene where everybody shout hysterically and cried endlessly, no matter who they are, or whatever scenes they came from. That night I thought I was gonna die squeezed in a really tight & raging crowd, but feels like a warm family of strangers.

Through the ups and downs of your health these couple of years, we prayed that we'll be given another chance to see you again. Though you are untouchable, but you have touched all of our hearts in a strange way. 
It's always crazy to think that people who adores you will never do it in mediocre way, they will praise you like a god. 

Come visit your children and believers once more in Indonesia, we know you said you are patiently waiting to be summoned back, and so are we. 
So stay healthy. Until the day when we can see you again, I will rewind the memories of #MorrisseyJKT 2012 over and over again. 

These are not heavy words that lightly thrown, because Whatever Happens I Love You. 

Yours Truly,
Ditha タキッス

Sunday, March 31, 2013

Ceritakan Dalam Kerinduan

Mengapa tertunduk pergi
Lelaki yang menunggu di bawah lembayung rembulan
Malam belum lagi usai
Keresahanku belum selesai

Jangan bosan dengan keluhku
Jangan hiraukan gemerisik dedaunan yang tersipu
Ayo ceritakan kembali
Rindu yang sembunyi dibalik sunyi

Mungkin tak cuma ikan paus dan bunga padi
Segala cerita sederhana menghaluskan hati
Ada yang mengalun dalam ceruk dada ini
Saat namamu menari dalam gelas kopi yang mengering

Kalau selesai cerita malam ini
Izinkan kusentuh sekali dahimu
Biarkan haru menghambur disitu
Hingga habis terurai rinduku

Kelak ceritamu tak mampu kusimpan lagi
Barulah kau boleh pergi
Lenyap ditelan gelap sebelum pagi
Sebelum kuasa hati terlepas dari tangan ini
Biar terusir embun subuh yang dingin
Menetes beku dan terburu-buru


Jakarta, 31 Maret 2013

Untuk Mas Is, Ivan, Comi & Cito.
Terima Kasih. Selalu :)


Sunday, March 24, 2013

Tentang Ibu dan Waktuku



Aku tak pernah ingat lagi
Neraca waktu dan segala yang bergerak di dalam jam
Karena hari pun aku lupa
Tanggal cuma bilangan hampa yang berulang

Kadang ibu mengingatkan aku
jarum jam itu masih sahih menentukan kedewasaanmu
Dan bilangan kelak akan habis di penghujung kekar ragamu
Maka siagalah akan waktu, jangan pernah lengah 

Ada berapa manusia yang menuhankan waktu? 
Yang mematri waktunya di dalam arloji
Yang merindu ketika waktu mempersingkatnya
Yang meruncing ketika waktu mengerutkan kulitnya 
Yang melepas ketika waktu menolak perpanjangannya

Padahal Ibu cuma tahu waktu dari kalender
Dan jam dinding di kamar tidurnya
Tapi ia tahu kapan waktu anaknya akan habis
Ia tak mau aku terkikis saat raut senyumnya kian menipis

Lagi-lagi ibu akan mengingatkanku 
Waktu juga akan mengeringkan rahim dan kelenjar susu
Lalu aku disuruh berjaga lagi
Dan ia akan tetap begitu, sampai aku dijalari nestapa akan waktu. 

Bagaimana jika ia lebih gesit dari firasatku?
Bagaimana jika ia lebih licik dari siasatku?

Hingga aku gelap terselubung bayang kecemasan, 
bila kelak waktu lah yang akan datang baik-baik kepadaku.. 
Dan meminta untuk mengambil Ibu.


Jakarta, 21 Maret 2013

A Letter To A Dear Friend(?)


Jkt, March 24 2013

Dear ___, 

Let's do it till we get bored of each other's greets... Till we stop missing the ding on our phones.. Till we find other interesting things.

Until the time. I will befriend you with all sincerity I can humbly offer. I will be deafening my ears from whatever people may say..

Even if you are kind, a kindness of someone one of a kind, i will close my eyes to it.. And consider you're here to befriend me, vice versa.

What I'm afraid of.. Is to misread your virtue with my impurity.. My wild beautiful mind.. That creates monster to jeopardize our friendship.

Because I know.. I know along the way.. Whatever people say and however bad the mockingbird sings.. We need each other in two different ways... 


Sincerely,
Dith.

Wednesday, February 20, 2013

Yang Akan Pergi



Katakanlah padaku kau akan pergi
Kala mendung belum lagi hujan
Dan waktuku belum kau tepati

Akulah sumur tempatmu mandi
Airnya kau teguk dan kotori
Sedang kini dangkal diserap kemarau

Kelak jika kau tiba-tiba minggat
Kan kukabari orang-orang desa bahwa kau telah mati
Sambil kusumpahi sampanmu kandas dihantam karang

Ah, aku ini mengapa mendengki?
Mungkin ini benih yang dulu kau semai
Lalu setia kupupuk dalam hati

Lalu mengapa kau harus gentar?
Bukankah Tuhan terkadang pilih kasih
Hingga ladang tak pernah gersang dipijakmu

Mungkinkah kau gusar karena terbayang
Bahwa kau akan selamanya meninggalkan
Jiwa kecil yang mati di ujung dermaga?

Jakarta, 13 Februari 2010

Tuesday, February 12, 2013

Berteman Dalam Diam




Dibalik pelupuk mata
Ada tawa yang berlalu tenang
Di sela malam yang tak terpejam
Ada perupaan dari perumpamaan

Kita berteman dalam diam
Saat bara dalam sekam enggan padam
Kubungkus kiasan dengan picisan
Tak lupa disisip harap tanpa jawab

Entah kapan akan terkirimkan

Oh bukankah kita pecandu imajinasi? 
Dalam serangan ilusi tanpa amnesti
Kita merunduk malu-malu saat mereka menggebu
Lalu berlari tergelak menghindari penghakiman

Persinggahan ini hanya sementara lalu apa yang kau takuti?
Akankah kita mencinta imaji yang kita buat sendiri?
Atau tetap berlari hingga pagi mengusap wajah sumringah
Memberi isyarat bahwa pelarian kita hanya sebuah mimpi?

Mari sejenak menjadi buta dan tuli
Karena dengan itu kecapan manis di pinggir hati dapat diresapi
Namun jangan jatuh terlalu jauh
Meski kita lelah berlari dalam tawa
Di tengah riuh tepuk tangan kera-kera berwajah manusia
Ingatlah!
Ingatlah bahwa kita akan tetap berteman dalam diam.


Cilandak, 13 Februari 2013


Monday, May 7, 2012

Senja di Tepi Laut



Terkadang Senja terlalu gelap, saat angin Laut berlomba menuju pantai
Mengecup Nyiur dengan suara-suara kebebasan dari atas langit
                          larut terhambur diatas pasir lalu bergulung ditengah karang.

Terkadang Nyiur yang menggiring Senja pergi ke tengah Laut.
Tapi lambaian Nyiur tak lagi merayu seperti dulu
                          kala Senja masih malu-malu.

Laut masih gelap, dingin dan menggetarkan nyali.
Mari hanya bermain di pantai karena kita tak pernah tahu
                         selepas itu
                         kapan ia kan menelan kita hidup-hidup.

Jika Senja hilang tertelan Laut pasang
                        maka pulanglah ke peraduan dengan hati lapang.
Dan jika hati belum lagi lapang
Maka lihatlah! Esok pagi Sinar kan tercurah tiada habis diatas Laut
                        membuatnya beriak hangat, berkilau riang hingga keemasan.

Tak seperti pijar Senja yang merah meredup
menunggu malam yang terjatuh
                       dan riuh ombak semakin nyaring. Semakin bising!

Senja menjauh gelisah dan berbisik ke tepi Laut
                       
                        Selamat tinggal Nyiur yang rapuh.....!
 
Hari itu, Senja terakhir di tepi Laut terasa sungguh singkat
                      karena Senja tak kan lagi kembali.
                      Ia mangkat terlalu cepat!



Jakarta, 12 Maret 2012